Selasa, 04 Mei 2010

Download Lagu - Lagu Khilafah

Remaja Islam
Selamatkan dengan syariah
Sambutlah Khilafah
Allah
Remaja Islam 2

Mencapai Keimanan dengan Logika

Keimanan adalah keyakinan,
yang dalam Islam wajib dicapai dengan penuh kesadaran dan pengertian,
karena hanya dengan inilah kesetiaan tunggal pada Islam (tauhid) bisa diharapkan,
seperti halnya seorang fisikawan yang telah yakin akan keakuratan instrumennya,
sehingga ia pun segera berbuat sesuatu,
begitu instrumen itu mengabarkan existensi radiasi atom
yang tidak pernah bisa dideteksi oleh indera fisikawan itu sendiri.

Fitrah Manusia
Sejak adanya manusia, manusia memiliki berbagai ciri-ciri (fitrah) yang membedakannya dari mahluk lain. Manusia memiliki intuisi untuk memilih dan tidak mau menyerah pada hukum-hukum alam begitu saja. Ma¬nusia bisa mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan nalurinya, misal makan meski sudah kenyang (karena menghormati tuan rumah), atau tidak melawan meski disakiti (karena men¬jaga perasaan orang). Hal ini tidak ada pada binatang. Seekor kucing yang sudah kenyang tak mau lagi mencicipi makanan yang enak sekali¬pun.
Manusia memiliki kemampuan mewariskan kepada manusia lain (atau keturunannya) hal-hal baru yang telah dipelajarinya. Inilah asal peradaban manusia. Hal ini tidak terdapat pada binatang. Seekor kera yang terlatih main musik dalam circus tidak akan mampu melatih kera lainnya. Seekor kera hanya bisa melatih seekor anak kera pada hal-hal yang memang nalu¬rinya (memanjat, mencari buah).
Kesamaan manusia dengan bina¬tang hanya pada kebutuhan eksistensi¬alnya (makan, minum, istirahat dan melanjutkan keturunan).

Manusia mencari hakekat hidupnya
Manusia yang telah terpenuhi kebu¬tuhan eksistensialnya akan mulai mempertanyakan, untuk apa sebenarnya hidup itu. Hal ini karena manusia memiliki kebe¬basan memilih, mau hidup atau mati. Karena faktor non naluriahnya, manu¬sia bisa putus asa dan bunuh diri, sementara tidak ada binatang yang bunuh diri kecuali hal itu dilaku¬kannya dalam rangka memper¬tahankan eksistensinya juga (pada lebah misalnya).
Pertanyaan tentang hakekat hidup ini yang memberi warna pada kehidu¬pan manusia, yang tercermin dalam kebudayaan, yang digunakannya untuk mencapai kepuasan ruhaninya.

Manusia membutuhkan Tuhan
Dalam kondisi gawat yang meng¬ancam eksistensinya (misalnya ter¬hempas ombak di tengah samudra, sementara pertolongan hampir musta¬hil diharapkan), fitrah manusia akan menyuruh untuk mengharapkan suatu keajaiban.
Demikian juga ketika seseorang sedang dihadapkan pada persoalan yang sulit, sementara pendapat dari manusia lainnya ber¬beda-beda, ia akan mengharapkan petunjuk yang jelas yang bisa dipe¬gangnya. Bila manusia tersebut menemukan seseorang yang bisa di¬percayainya, maka dalam kondisi dilematis ini ia cenderung merujuk pada tokoh idolanya itu.
Dalam kondisi seperti ini, setiap manusia cenderung mencari "sesembahan". Mungkin pada kasus pertama, sesembahan itu berupa dewa laut atau sebuah jimat pusaka. Pada kasus kedua, "sesembahan" itu bisa berupa raja (pepunden), bisa juga berupa tokoh filsafat, pemimpin revolusi bahkan seorang dukun yang sakti.

Tanda-tanda eksistensi Tuhan
Di luar masalah di atas, perhatian manusia terhadap alam sekitarnya membuatnya bertanya, "Mengapa bumi dan langit bisa sehebat ini, bagaimana jaring-jaring kehidupan (ekologi) bisa secermat ini, apa yang membuat se-milyar atom bisa berinteraksi dengan harmoni, dan dari mana hukum-hu¬kum alam bisa seteratur ini".
Pada masa lalu, keterbatasan pengetahuan manusia sering membuat mereka cepat lari pada "sesembahan" mereka setiap ada fenomena yang tak bisa mereka mengerti (misal petir, gerhana matahari). Kemajuan ilmu pengetahuan alam kemudian mampu mengungkap cara kerja alam, namun tetap tidak mampu memberikan ja-waban, mengapa semua bisa terjadi.
Ilmu alam yang pokok penye¬lidikannya materi, tak mampu men¬dapatkan jawaban itu pada alam, ka¬rena keteraturan tadi tidak melekat pada materi. Contoh yang jelas ada pada peristiwa kematian. Meski be¬berapa saat setelah kematian, materi pada jasad tersebut praktis belum berubah, tapi keteraturan yang mem¬buat jasad tersebut bertahan, telah punah, sehingga jasad itu mulai mem¬busuk.
Bila di masa lalu, orang mengem¬balikan setiap fenomena alam pada suatu "sesembahan" (petir pada dewa petir, matahari pada dewa matahari), maka seiring dengan kemajuannya, sampailah manusia pada suatu fikiran, bahwa pasti ada "sesuatu" yang di be¬lakang itu semua, "sesuatu" yang di belakang dewa petir, dewa laut atau dewa matahari, "sesuatu" yang di bela¬kang semua hukum alam.
"Sesuatu" itu, bila memiliki sifat-sifat ini:
1. Maha Kuasa[1]
2. Tidak tergantung pada yang lain
3. Tak dibatasi ruang dan waktu
4. Memiliki keinginan yang absolut
maka dia adalah Tuhan, dan berdasar¬kan sifat-sifat tersebut tidak mungkin zat tersebut lebih dari satu, karena dengan demikian berarti satu sifat akan tereliminasi karena bertentangan dengan sifat yang lain.

Tuhan berkomunikasi via utusan
Kemampuan berfikir manusia tidak mungkin mencapai zat Tuhan. Manu¬sia hanya memiliki waktu hidup yang terhingga. Jumlah materi di alam ini juga terhingga. Dan karena jumlah kemungkinannya juga terhingga, maka manusia hanya memiliki kemampuan berfikir yang terhingga. Sedangkan zat Tuhan adalah tak terhingga (infinity). Karena itu, manusia hanya mungkin memikirkan sedikit dari "jejak-jejak" eksistensi Tuhan di alam ini. Adalah percuma, memikirkan se¬suatu yang di luar "perspektif" kita.
Karena itu, bila tidak Tuhan sendiri yang menyatakan atau "memperkenalkan" diri-Nya pada manusia, mustahil manusia itu bisa mengenal Tuhannya dengan benar. Ada manusia yang "disapa" Tuhan un¬tuk dirinya sendiri, namun ada juga yang untuk dikirim kepada manusia-manusia lain. Hal ini karena ke¬banyakan manusia memang tidak siap untuk "disapa" oleh Tuhan.

Utusan Tuhan dibekali tanda-tanda
Tuhan mengirim kepada manusia utusan yang dilengkapi dengan tanda-tanda yang cuma bisa berasal dari Tu¬han. Dari tanda-tanda itulah manusia bisa tahu bahwa utusan tadi memang bisa dipercaya untuk menyampaikan hal-hal yang sebelumnya tidak mung¬kin diketahuinya dari sekedar meng¬amati alam semesta. Karena itu perhatian yang akan kita curahkan adalah menguji, apakah tanda-tanda utusan tadi memang autentik (asli) atau tidak.
Pengujian autentitas inilah yang sangat penting sebelum kita bisa mempercayai hal-hal yang nantinya hanyalah konsekuensi logis saja. Ibarat seorang ahli listrik yang tugas ke lapangan, ten¬tunya ia telah menguji avo¬meternya, dan ia telah yakin, bahwa avometer itu bekerja dengan benar pada laboratorium ujinya, sehingga bila di lapangan ia dapatkan hasil ukur yang sepintas tidak bisa dijelaskanpun, dia harus percaya alat itu. Seorang fisikawan adalah seorang manusia biasa, yang dengan matanya tak mungkin melihat atom. Tapi bila ia yakin pada instrumentasinya, maka ia harus me¬nerima apa adanya, bila instrumen ter¬sebut mengabarkan jumlah radiasi yang melebihi batas, sehingga misal¬nya reaktor nuklirnya harus segera di¬matikan dulu.
Karena yakin akan autentitas peralatannya, seorang astronom percaya adanya galaksi, tanpa perlu terbang ke ruang angkasa, seorang geolog percaya adanya minyak di kedalaman 2000 meter, tanpa harus masuk sendiri ke dalam bumi, dan seorang biolog percaya adanya dinosaurus, tanpa harus pergi ke zaman purba.
Keyakinan pada autentitas inilah yang disebut "iman". Sebenarnya tak ada bedanya, antara "iman" pada au-tentitas tanda-tanda utusan Tuhan, dengan "iman"-nya seorang fisikawan pada instrumennya. Semuanya bisa diuji. Karena bila di dunia fisika ada alat yang bekerjanya tidak stabil se¬hingga tidak bisa dipercaya, ada pula orang yang mengaku utusan Tuhan tapi tanda-tanda yang dibawanya tidak kuat, sehingga tidak pula bisa di-percaya.

Menguji autentitas tanda-tanda dari Tuhan
Tanda-tanda dari Tuhan itu hanya autentis bila menunjukkan keung¬gulan absolut, yang hanya dimungkin¬kan oleh kehendak penciptanya (yaitu Tuhan sendiri). Sesuai dengan za¬mannya, keunggulan tadi tidak tertan¬dingi oleh peradaban yang ada. Dan orang pembawa keunggulan itu tidak mengakui hal itu sebagai keah¬liannya, namun mengatakan bahwa itu dari Tuhan !!!
Pada zaman Nabi Musa, ketika il¬mu sihir sedang jaya-jayanya, Nabi Musa yang diberi keunggulan menga-lahkan semua ahli sihir, justru menga¬takan bahwa ia tidak belajar sihir, na¬mun semuanya itu hanya karena ijin Tuhan semata.
Demikian juga Nabi Isa, yang menyembuhkan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, meski masyarakat¬nya merupakan yang termaju dalam ilmu pengobatan pada masanya. Toh Nabi Isa hanya mengatakan semua itu karena kekuasaan Tuhan semata, dan ia bukan seorang tabib.
Dan Nabi Muhammad? Tanda-tanda beliau sebagai utusan yang utama adalah Al-Quran. Pada saat itu Mekkah merupakan pusat kesu¬sasteraan Arab, tempat para sastrawan top mengadu kebolehannya. Dan mes¬ki pada saat itu semua orang takjub pada keindahan ayat-ayat Al-Quran yang jauh mengungguli semua puisi dan prosa yang pernah ada, Nabi Mu¬hammad hanya mengatakan, ayat itu bukan bikinannya, tapi datangnya dari Allah.
Itu 14 abad yang lalu. Pada masa kini, ketika ilmu alam berkembang pe¬sat, terbukti pula, bahwa kitab Al-Quran begitu teliti. Tidak ada ayat yang saling bertentangan satu sama lain. Dan tak ada pula ayat Al-Quran yang tidak sesuai dengan fakta-fakta ilmu alam.
Di sisi lain, fenomena pembawa ajaran itu juga menunjukkan sisi au¬tentitasnya. Meski mereka:
orang biasa yang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, juga tidak join dengan penguasa atau yang bisa menjamin kesuk¬sesannya;
menyebarkan ajaran yang melawan arus, bertentangan dengan tradisi yang lazim di masyarakatnya;
mereka berhasil dengan ajarannya, dan keberhasilan ini sudah diramalkan le¬bih dulu pula, dan semua itu dika¬takannya karena Tuhanlah yang menolongnya.

Konsekuensi setelah meyakini au¬tentitas tanda-tanda kenabian Mu¬hammad
Setelah kita menguji autentitas tanda-tanda kenabian Muhammad dengan menggunakan segala piranti logika yang kita miliki, dan kita yakin bahwa itu asli berasal dari Tuhan, maka kita harus menerima apa adanya yang disebutkan oleh kitab Al-Quran maupun oleh hadits yang memang te¬ruji autentis berasal dari Muhammad.
Dan ajaran Nabi Muhammad saw ini adalah satu-satunya ajaran autentis dari Allah, yang diturunkan kepada penutup para utusan, tidak tertuju ke satu bangsa saja, tapi ke seluruh umat manusia, sampai akhir zaman.

Penguasa Anti-Korupsi Zaman Islam

Semasa Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai Khalifah, tak satu pun makhluk di negerinya kelaparan. Tak ada pengemis dan tak ada penerima zakat.
Oleh: Nurhadi*
UMAR bin Abdul Aziz adalah sosok pemimpin dambaan umat. Sifatnya yang adil, jujur, sederhana, dan bijaksana, merupakan khas kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Tak salah bila sejarah Islam menempatkannya sebagai ”khalifah kelima” yang bergelar “Amirul Mukminin”, setelah Khulafa ar Rasyidin.

Jika dirunut, Umar bin Abdul Aziz masih mempunyai garis keturunan Umat bin khatab. Khalifah ar Rasyidin yang kedua setelah khalifah Abu Bakar as Sidiq. Dari sini, Rasulullah pernah bersabda agar dimasukan dua nama Umar sebagai penegak kejayaan Islam, yakni Umar Bin al Khatab dan yang satunya Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah pada masa dinasti Bani Umayyah di akhir abad pertama Hijriyah. Pada saat itu, dinasti ini sedang mengalami konflik internal para pejabatnya. Gaya kehidupan yang serba mewah, bermegah-megahan, korup, borju, dan hedon. Umar sendiri merupakan bagian dari simbol gaya hidup dinasti Bani Umayyah. Sepeninggal wafatnya Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, putra Khalifah Abdul Malik bin Marwah yang juga telah wafat, pihak keluarga kerajaan meminta agar ia menggantikan posisi sebagai Khalifah.

Kekuasaan di Mata Umar

Tak seperti penguasa kebanyakan yang begitu ambisi mengincar kursi kekuasaan, Umar justru menangis ketika tahta itu dianugerahkan kepadanya. Baginya, jabatan bukanlah alat untuk meraup kekayaan, melainkan amanah dan beban yang harus ditunaikan secara benar. Ia sadar bahwa kekuasaan mengandung konsekuensi yang sangat berat, terutama menyangkut bagaimana ia harus mempertanggungjawabkan sendi-sendi keadilan dalam pemerintahannya di akhirat kelak.

Ketika Umar diangkat menjadi khalifah dia mengatakan, “Wahai manusia sekalian, barang siapa yang taat kepada Allah sungguh ketaatannya sudah bagus, dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah maka janganlah mentaatinya. Ikutilah saya selagi saya taat kepada Allah. Apabila saya bermaksiat kepada Allah, maka janganlah kalian mentaatiku!”

Dikisahkan pula, semasa Umar menjabat sebagai Khalifah, walaupun hanya 2,5 tahun, rakyat menjadi makmur dan negara menjadi benar-benar surplus. Tak satu pun makhluk di negerinya menderita kelaparan. Tak ada pengemis di sudut-sudut kota, tak ada penerima zakat karena setiap orang mampu membayar zakat. Penjara tak ada penghuninya, kosong. Bahkan serigala pun enggan mencuri ternak penduduk kota, karena begitu menghormati keadilan Umar.

Inilah adalah langkah-langkah pembaharuan Umar bin Abdul Aziz yang diterapkan di dalam sistem pemerintahannya:

Pertama, ia memulai dari diri sendiri, keluarga, dan istana.

Umar rela beserta seluruh keluarganya hidup sederhana dan menyerahkan harta kekayaannya ke Baitulmal (kas negara) begitu selesai ia dilantik, termasuk pakaiannya yang mewah seharga 800 dirham, yang menjadi simbol kemewahan hidup sebelumnya. Berbagai fasilitas negara ditolaknya. Ia memilih tinggal di rumahnya dan menolak hidup di istana. Kehidupannya berubah drastis, dari seorang cinta kemapanan dunia, menjadi orang yang zuhud terhadap dunia.

Selanjutnya, Umar kepada istrinya, Fatimah binti Abdul Malik, memberikan pilihan, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu ke kas Negara, atau kita cerai”.

“Demi Allah,” kata Fatimah, “Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.” Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.

Ketika anak-anaknya menanyakan, mengapa kita tidak lagi menikmati kemewahan sebagaimana kita menikmatinya sebelumnya? Umar justru menangis dan berkata kepada anak-anaknya, “Saya beri kalian makanan yang lezat dan enak tapi kalian rela memasukkan saya ke neraka, atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita masuk surga bersama?”

Setelah berhasil mengajak keluarganya, Umar melangkah ke luar istana. Ia memerintahkan menjual seluruh barang mewah yang ada di istana dan mencabut seluruh fasilitas kemewahan yang ada pada keluarga istana, serta mengembalikannya ke kas Negara. Sebagian mereka protes terhadap kebijakan tersebut. Hingga suatu saat mereka memberanikan diri untuk mengutus bibinya agar dapat bersikap lembut mencabut kebijakannya.

Umar yang tahu maksud kedatangan bibinya, ia mengambil uang logam lalu dipanaskan dalam bara api. Setelahnya, ia meletakan sekerat daging di atas uang logam yang telah memerah. Umar lalu berkata kepada bibinya

“Apakah bibi rela menyaksikan saya dibakar di neraka seperti daging ini hanya untuk memenuhi kesenangan kalian? Berhentilah merayu saya, sebab saya tidak akan pernah mundur dari jalan pembaharuan ini.”

Adakah pemerintah dan penguasa seperti ini di zaman sekarang?

Dari sini Umar menunjukan pentingnya bagaimana jujur dalam mengembang amanah kekuasaan. Ia tak melampiaskan nafsu kekuasaannya hanya untuk kesenangan sesaat, mencuri atau melakukan tindak pidana korupsi layaknya kasus-kasus yang sedang disorot masyarakat atas pejabat-pejabat kita hari ini.

Pengelolaan Uang Negara

Umar menunjukkan pada kita, bagaimana harus pemberdayaan zakat atau sedekah yang disimpan di Baitulmal dan dikelola Negara. Ia mulai dari diri sendiri, keluarga, dan pejabat istananya, sekaligus memperlihatkatkan upaya sungguh pembersihan diri dari gaya hidup yang mewah dan korup.

Langkah kedua, kampaye penghematan. Umar melakukan pembaharuan penghematan total dalam penyelenggaraan negara. Sumber pemborosan dalam penyelenggaraan negara, biasanya terdapat pada struktur negara yang gemuk, birokasi yang rumit, dan administrasi semrawut. Umar selalu mengkampanyekan penghematan, terutama gaya hidup para pejabat negaranya. Selanjutnya beliau merampingkan struktur negara dari pejabat yang korup, memangkas birokasi yang rumit, dan menyederhanakan sistem administrasi. Dengan cara tersebut, Umar telah menghemat uang belanja negara menjadi lebih surplus. Pada saat yang sama Umar juga mensosialisasikan semangat berbisnis dan berwirausaha kepada masyarakat.

Langkah selanjutnya, penataan ulang distribusi zakat. Dalam konsep ini, penetapan delapan objek mustahik zakat adalah bentuk subsidi langsung yang diberikan kepada rakyat.

Zakat dinilai akan mampu berdampak terhadap pemberdayaan masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan meningkatnya daya beli masyarakat, secara langsung zakat merangsang tumbuhnya permintaan dari masyarakat. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan naik. Jadi pendistribusian zakat yang tepat selain mengurangi kemiskinan juga faktor penentu pertumbuhan di tingkat makro.

Demikian kondisi saat itu jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah penerima zakat terus berkurang. Sehingga wajar jika amil zakat pada waktu itu tidak menemukan orang yang mau menerima zakat.

Ibnu Abdil Hakam meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, ‘'Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikan kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai orang miskin seorangpun."

Karena begitu makmurnya rakyat waktu itu, negara pun mengalihkan distribusi zakat ini ke pembayaran orang yang dililit utang-utang pribadi. Lagi-lagi kas Negara masih lebih dari cukup dan memerintahnya lagi untuk memberikan biaya-biaya bagi rakyat yang ingin menikah, yang sebenarnya bukan tanggungan dari pemerintah.

Selain itu, kebijakan Umar lainnya membangun dan memperbaiki berbagai layanan publik untuk masyarakat. Sektor pertanian terus dikembangkan melalui perbaikan lahan dan saluran irigasi. Masyarakat yang sakit disediakan pengobatan gratis. Sarana ibadah seperti masjid diperbanyak dan diperindah. Untuk memuliakan tamu dan para musafir, dibangunlah bebeberapa buah penginapan. Ia juga memperbaiki pelayanan di dinas pos, sehingga aktivitas korespondesi berlangsung lancar.

Begitu kondusifnya kondisi saat itu, kelompok Khawarij dan Syiah yang di era sebelumnya kerap memberontak, berubah menjadi lunak. Di wilayah-wilayah yang ditaklukkan Khalifah Umar juga mengubah kebijakan. Ia mengganti peperangan dengan gerakan dakwah Islam. Pendekatan ini mengundang simpati dari pemeluk agama lain. Secara sadar dan ikhlas banyak raja yang berbondong-bondong memilih Islam sebagai agama terbaik.

Bisakah, kita temukan hari ini, sosok pemimpin pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz yang mengedepankannya tanggung jawab secara penuh. Yang tidak pernah tidur siang karena takut melalaikan hak-hak dari rakyatnya? Mudah-mudahan Allah menghadirkan kepada kita pemimpin sekualitas Umar bin Abdul Aziz. Amin! [Nurhadi, mahasiswa Jurusan Tarbiyah STAIL Hidayatullah Surabaya/hidayatullah.com]

Referensi :
Khalid, Muhammad Khalid, Kehidupan para khilafah Teladan, (Pustaka Amani : Jakarta, 1995).
Syayid, Abdul Aziz, Umar bin Abdul Aziz Khalifah Zuhud yang Memenuhi Dunia dengan Keadilan, (Samara: Jakarta, 2009)

MEMAHAMI HAKIKAT KEMATIAN

Kebanyakan orang menyangka bahwa terdapat banyak sebab yang dapat menimbulkan kematian. Terserang penyakit berbahaya (misalnya kanker, jantung atau AIDS), kecelakaan lalu lintas, tertimpa bencana alam, akibat praktek seorang dokter yang bekerja secara sembrono, terbunuh perampok brutal dan sebagainya, adalah beberapa diantara yang dinilai dapat mengakibatkan kematian. Anggapan semacam ini tidak tepat . Mengapa? Sebab, bila benar itu semua adalah sebab-sebab yang menimbulkan kematian, mestinya tiap orang yang mengalami kejadian-kejadian tersebut diatas pasti akan mati. Tapi kenyataannya tidak selalu demikian. Karena tidak tiap orang yang menderita penyakit berbahaya, bahkan saat dokter yang merawatnya sudah angkat tangan sekalipun, atau mengalami kecelakaan lalu lintas hebat, tertimpa gedung runtuh, ditikam perampok atau salah makan obat, pasti lantas mati. Malah ada orang yang tadinya mengalami keadaan seperti itu akhirnya ia sehat wal afiat. Sementara orang yang sebelumnya sehat, tiba-tiba meninggal.
Bila demikian, lantas apa yang sesungguhnya menjadi penyebab kematian? Mencari tahu penyebab kematian tidak mudah, karena ia termasuk perkara ghaib. Kita tidak akan mengetahui hakekatnya kecuali Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, memberitahukan kepada kita. Dan Allah telah mengabarkan semua itu dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunya.” (QS. Ali Imran [3] : 145)

رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ

“……Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan” (QS. al-Baqarah [2] : 258)

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Dimanapun saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada didalam benteng yang kokoh” (QS. an-Nisaa’ [4] : 78 )

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

“Tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka jika telah datang ajalnya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat mengajukannya” (QS. al-A’raf [7] : 34)

Semua ayat diatas menunjukkan secara jelas dan pasti (qath’iy) bahwa Allah-lah dzat yang menghidupkan dan mematikan tiap makhluk-Nya. Maka sesungguhnya sebab kematian adalah datangnya ajal. Adapun penyakit yang diderita, kecelakaan, bencana alam atau apapun, hanyalah keadaan (al-Hal) saat mana ajal yang menyebabkan kematian datang. Bukan penyebab kematian.
Bila Allah telah menetapkan seseorang mati, maka matilah dia tanpa dapat menghindar, tanpa pula dapat ditunda-tunda atau bahkan dimajukan. Ia akan mati dalam keadaan apapun, siap atau tidak siap, suka atau tidak suka. Sebaliknya, seingin atau diinginkan seperti apapun seseorang untuk mati, dalam keadaan yang galibnya bisa menimbulkan kematian sekalipun ia, bila belum tiba ajalnya, maka ia tetap tidak akan mati.

Sikap yang tepat
Bila telah dipahami hakekat dari kematian, yakni datangnya ajal, lantas sikap apa yang harus dimiliki oleh seorang muslim? Sikap yang harus diambil adalah : memilih keadaan (al-Hal) yang paling baik bagi datangnya ajal, dengan cara berusaha keras agar iman selalu tetap di dada dan senantiasa menjalankan taat kepada Allah, serta menghindari maksiyat.
• Menjaga Iman. Tentang wajibnya menjaga iman hingga akhir hayat, dijelaskan oleh Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran [3] : 102)

• Senantiasa dalam taat. Cara menghadapi kematian yang terbaik adalah dengan senantiasa dalam keadaan taat kepada semua aturan Islam. Sehingga ketika ajal datang, kita dalam keadaan yang terbaik. Keyakinan bahwa kematian di tangan Allah, juga mendorong seorang muslim untuk tidak gentar menjalankan dan memperjuangkan Islam. Bahkan kematian yang terbaik adalah syahid di medan jihad. Dan orang-orang yang senantiasa ingat mati serta mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya menyongsong kematian, disebut Rasulullah sebagai orang yang cerdas.

“Secerdik-cerdik manusia adalah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan dunia serta kemuliaan akherat.” (HR. Ibnu Majah)

Maka, tidak ada jalan lain, kita harus memanfaatkan hidup kita, umur kita, masa muda kita, sehat kita dengan sebaik-baiknya, sebelum semua lenyap dan berakhir.

“Pergunakan lima sebelum datang lima yang lain : masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa kayamu sebelum tiba miskinmu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu dan hidupmu sebelum tiba kematianmu.” (HR. Bayhaqi)

Ketika mati, tidak ada lagi kesempatan. Kesempatan hanya diberikan sekali. Setelah itu tidak ada lagi. Sesal kemudian sungguh-sungguh tidak berguna.

“Bila seseorang mati maka terputuslah pahala amalnya kecuali tiga hal : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendo’akannya.” (al-Hadist)

• Menjauhkan diri dari keadaan (al-Hal) yang mem-bahayakan diri. Akal sehat kita tentu akan mendorong untuk menghindarkan diri dari keadaan (penyakit, bencana alam, berkendaraan secara ugal-ugalan, membela diri saat diserang dan sebagainya) yang membahayakan jiwa. Secara sengaja menuju keadaan yang membahayakan keselamatan jiwa sama saja bunuh diri. Dan bunuh diri dilarang keras oleh Islam.

• Menjauhi maksiyat. Orang yang memahami hakekat kematian, sangat takut melakukan maksiyat. Khawatir, karena kematian akan datang setiap saat tanpa diduga, ia mati dalam keadaan melakukan maksiyat. Ini su’ul khatimah namanya. Sedang kita sangat ingin menjadi manusia yang matinya khusnul khatimah. Untuk itu, caranya tidak lain adalah dengan tetap dalam keadaan muslim dan senantiasa taat menjalankan aturan-aturan Islam.

DAMPAK KALIMAT SYAHADAT


Dampak tauhidullah pada diri seorang muslim harus nyata. Pertama : Seorang muslim yang bertauhid harus merasa senantiasa bersama dan diawasi Allah (ma’yatullah dan muraqabatullah), Kedua : Mencintai (mahabbah) dan ridha kepada Allah melebihi dari apapun. Ketiga : Yakin atau percaya kepada janji Allah (tsiqah bi wa’dillah).
Ma’yatullah, mahabbah dan tsiqah bi wa’dillah akan mendorong seorang muslim untuk senantiasa menjaga aqidahnya, taat kepada aturan Allah dan menjauhi maksiyat serta bergiat dalam dakwah sehingga ia akan menjadi seorang muslim kaffah yang senantiasa mengharap keridhaan Allah (mardhatillah) dan surga (jannah). Allah swt. telah berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

"Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara kaffah dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. al-Baqarah [2]: 208)

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya perkataan orang-orang beriman, ketika dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menerapkan hukum (Islam) diantara mereka, mereka mengatakan : ’Kami mendengar dan kami patuh’ dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nuur [24] : 51)

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Rab-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka (haraj) terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka beriman dengan taslim. “ (QS. al-Nisaa’ [4] : 65)

Ma’yatullah
Ma’iyyah berasal dari kata ma’a, artinya bersama. Ma’iyatullah berarti kebersamaan Allah swt. Ma’iyyatullah ada dua : al-ma’iyyah al-amah dan al-ma’iyyah al-khashah.

Al-Ma’iyyatullah al-amah
Al-ma’iyyatullah al-amah (kebersamaan umum) artinya bahwa Allah swt. senantiasa bersama dengan seluruh manusia. Baik tua atau muda, laki-laki maupun perempuan, muslim ataupun kafir. Dengan sifat-Nya yang Maha Mengetahui (al-‘Alim), Maha Melihat (al-Bashir), Maha Mendengar (al-Sami’), Allah akan senantiasa mengetahui dan melihat apa yang dilakukan manusia dan apa yang dikatakannya.

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dia yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian istiwa di arsy. Dia mengetahui apa yang ada di bumi dan yang keluar dari bumi, apa yang turun dari langit dan apa-apa yang naik padanya. Dia bersamamu dimanapun kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid [57] : 4)

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Tidakkah engkau ketahui bahwa Allah mengetahui apa-apa yang ada dilangit dan apa-apa yang ada di bumi? Tiadalah berbisik tiga orang, melainkan dia yang keempatnya dan tidak pula lima orang, melainkan Dia yang keenamnya dan tiada kurang serta tiada lebih melainkan Dia bersama mereka dimana saja mereka berada. Kemudian Dia kabarkan kepada mereka apa-apa yang mereka kerjakan pada hari kiamat. Sungguh Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-Mujadilah [58] : 7)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiadalah satu perkataanpun yang diucapkan seseorang melainkan disisinya ada raqib dan atid.” (QS. Qaaf [50] : 18)

Wujud dari al-Ma’iyyatullah al-amah adalah Allah memberikan kemuliaan dan rahmat-Nya berupa nyawa, rizki dan segenap nikmat kepada manusia, baik ia beriman kepada Allah ataupun ia ingkar kepada-Nya. Baik ia selalu taat atau bergelimang maksiyat. Allah swt. berfirman :

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Allah menundukkan (taskhir) untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin, Diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu, tanpa pertunjuk dan tanpa kitab yang terang.” (QS. Luqman [31] : 20)

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam dan Kami angkut mereka dengan kendaraan di darat dan di laut serta Kami beri rizki mereka dengan yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami jadikan dengan kelebihan (yang sempurna).” (QS. al-Isra’ [17] : 70)

Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada manusia untuk berbuat ihsan kepada mereka. Dan selalu taat kepada segenap aturan Allah dan takut berbuat maksiyat oleh karena Allah senantiasa bersama mereka.

وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Berbuatlah ihsan kamu sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepada engkau….” (QS. al-Qashash [28] : 77)

al-Ma’iyyatullah al-khashah
Tidak semua manusia ternyata dapat merespon muraqabatullah dan ihsanullah sebagaimana mestinya. Sangat banyak manusia yang mudah sekali melakukan kemaksiyatan, padahal setiap saat Allah senantiasa mengawasi manusia. Juga, sangat mudah melakukan ke-dzaliman kepada sesama manusia. Padahal Allah senantiasa berbuat baik kepadanya.
Oleh karena itu, sekalipun mendapatkan al-ma’iyyah al-amah, tapi tidak mendapatkan al-ma’iyyah al-khasshah yang bentuknya berupa ta’yidullah (dukungan Allah) dan nashrullah (pertolongan Allah) sebagaimana dialami oleh Rasulullah dan Abu Bakar saat keduanya berada di gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy dalam hijrahnya ke Madinah. Orang Quraisy tidak menyangka sama sekali bahwa Rasul dan Abu Bakar berada didalam gua karena di mulut gua ada burung merpati yang bertelur serta sarang laba-laba yang masih utuh. Logika mereka, bila ada orang masuk, tentu semua itu akan rusak. Mereka tidak menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan itu semua demi menolong dua hamba terkasihnya. Allah swt. berfirman :

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Jika kamu tiada menolong Nabi, sesungguhnya Allah telah menolongnya, ketika orang-orang kafir mengusirnya, sebagai orang kedua dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua (Tsur), ketika ia berkata kepada sahabatnya : ‘Janganlah engkau berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Lalu Allah menurunkan ketenangan diatas dirinya dan menguatkannya dengan bala tentara yang tiada kamu lihat (malaikat) dan Allah menjadikan perkataan orang-orang kafir rendah dan kalimat Allah tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9] : 40)

Atau seperti yang dialami oleh Nabi Musa dan saudaranya Harun saat menghadapi kekejaman penguasa diktaktor Fir’aun.

قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى

“Berkatalah mereka berdua : ‘Yaa Rab kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” (QS. Thaha [20] : 45)

Lalu Allah menghibur mereka seraya mengatakan,

قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى

“Jangan kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat.” (QS. Thaha [20] : 46)

Yakin bahwa dukungan dan pertolongan Allah pasti diberikan kepada manusia yang senantiasa beriman dan konsekwen dengan keimanannya itu. Maka ia senantiasa akan berusaha mewujudkan keimanannya dalam ketatan pada semua aturan Allah baik menyangkut kehidupan individu, keluarga maupun dalam bermasyarakat dan bernegara. Ketika dilihatnya bahwa ditengah keluarga, masyarakat dan negara belum tegak aturan Allah, ia akan berjuang hingga aturan itu tegak secara sempurna. Ia tidak takut untuk senantiasa taat dan tidak takut pula dalam berjuang karena Allah pasti akan menolong dan mendukungnya. Baik dukungan berupa kemudahan dalam urusan, jalan keluar atas persoalan yang dihadapi maupun tambahan rizki yang tiada diduga-duga arahnya. Apapun, Allah pasti akan menjadi penolong orang-orang yang istiqamah dijalan-Nya.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2] : 153)

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesunggunya Allah bersama dengan orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] : 194)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا(2)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barang siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah, akan diberikan kepadanya (makhraja) jalan keluar dan akan diberinya rizki dari arah yang tiada diduga-duga, Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. at-Thalaq [65] : 2-3)

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan barang siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah akan dijadikan untuknya kemudahan urusannya.” (QS. at-Thalaq [65] : 4)

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30)نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang istiqamah menyatakan Rab kami Allah, akan turun kepada mereka malaikat seraya mengatakan janganlah engkau takut dan khawatir. Dan berikan khabar gembira untuk mereka dengan surga yang dijanjikan. Kami-lah pelindungmu didalam kehidupan dunia dan akhirat.” (QS. Fushilat [41] : 30-31)


Mahabbah dan Ridha

قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah : ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, karib keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari jihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. at-Taubah [9] : 24)

Berdasarkan ayat diatas, maka al-mahabbah (kecintaan) terbagi menjadi tiga : pertama : al-mahabbatu al-ula, yaitu kecintaan kepada Allah, Rasul dan jihad fi sabilillah. Kedua : al-mahabbatu al-wustha, yaitu kecintaan kepada selain Allah, Rasul dan jihad fi sabilillah yang diijinkan, misalnya pada ibu-bapak, anak-anak, suami-istri, karib-kerabat, harta-benda dan sebagainya. Ketiga : al-mahabbatu al-adna, yaitu kecintaan kepada ibu-bapak, anak-anak, suami-istri, karib-kerabat, harta benda dan sebagainya melebihi kecintaannya kepada Allah, Rasul dan Jihad.
Secara fitri sebagai wujud dari gharizatu al-baqa’ dan gharizatu al-nau’, manusia cenderung menyukai harta dan mencintai sesama manusia. Akan tetapi, ketika seseorang muslim telah menyatakan bertauhid maka posisi Allah dan Rasul-Nya menempati posisi utama, lebih dari yang lain sebagaimana ditunjukkan oleh ayat diatas. Kecintaan utama kepada Allah dan Rasul-Nya mendorongnya untuk taat dan menjauhi maksiyat. Termasuk ketika jihad memanggil, dengan ringan ia memenuhi panggilan itu seraya meninggalkan semua hal yang dicintainya. Allah swt. berfirman :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3] : 31)

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. al-Baqarah [2] : 165)

Tsiqah bi Wa’dillah
Tsiqah bi Wa’dillah, artinya percaya dengan janji Allah. Seorang muslim wajib mempercayai janji Allah, baik yang termaktub dalam al-Qur’an maupun yang disampaikan-Nya melalui lisan Nabi-Nya dalam hadist-hadist. Dengan mempercayai janji Allah, seorang muslim sesungguhnya telah mempunyai sikap hidup yang unik. Yakni sikap hidup muslim yang tidak hanya bertumpu pada kenyataan atau tantangan yang ada, tetapi bertumpu pada kepercayaan mutlak akan janji Allah. Sehingga, betapapun buruknya kenyataan yang ada atau betapa pun beratnya tantangan yang menghadang, ia akan menghadapinya dengan teguh dan tegar, bahkan dengan bersemangat. Tidak putus asa. Ia meyakini secara pasti, bahwa setiap kesulitan akan selalu diikuti dengan kemudahan, bahwa kemenangan akan berpihak kepada orang-orang mukmin dan bahwa Allah akan memenangkan Islam atas agama-agama yang lain, walaupun orang-orang kafir membencinya.
Percaya kepada janji Allah berpangkal dari iman, bahwa janji Allah pastilah benar. Allah tidak mungkin mengingkarinya dan tidak mungkin Allah tidak mampu menepati janjinya itu. Jadi, janji Allah tidak mungkin meleset. Allah mempunyai kuasa (qudrah) untuk mewujudkan janji itu. Allah adalah Maha Berkuasa (qadiir) atas segala sesuatu. Allah swt. telah mengaitkan janji kemenangan dengan sifat-Nya Yang Maha Kuasa :

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ

“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini kebenaran ayat-ayat Allah itu menggelisahkan kamu.” (QS. ar-Ruum [30] : 60)

وَأُخْرَى لَمْ تَقْدِرُوا عَلَيْهَا قَدْ أَحَاطَ اللَّهُ بِهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرًا

“Dan (Allah telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang kamu belum dapat menguasainya, yang sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Fath [48] : 21)

Jika Allah swt. telah menjanjikan sesuatu kepada hamba-Nya, niscaya Allah swt. tidak akan menyalahi janji-Nya itu. Allah swt. telah menfirmankan hal itu dalam satu ayat-Nya, yang merupakan salah satu bentuk do’a bagi seorang muslim yang percaya kepada janji-Nya :

رَبَّنَا وَءَاتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ

“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada Hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” (QS. Ali Imran [3] : 194)

Disamping itu, secara faktual sebagaimana ditunjuk-kan oleh sejarah, janji Allah memang terbukti benar. Dalam berbagai riwayat hadist, Rasulullah saw. juga telah menjanjikan kemenangan dan pembebasan dari kesusahan dalam berbagai kesempatan. Berkaitan dengan penaklukan jazirah Arab dan Romawi, Rasulullah saw. bersabda :

“Kalian akan memerangi jazirah Arab lalu Allah menaklukkannya, kemudian kalian akan memerangi Romawi lalu Allah menaklukkannya.” (HR. Muslim)

Tentang penaklukkan Mesir, Rasulullah bersabda :

“Mesir akan ditaklukkan. Dia adalah negeri yang didalamnya disebut al-Qirath. Aku wasiatkan, hendaklah kalian berlaku baik terhadap penduduknya.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw. juga telah mengabarkan kepastian penaklukan Konstantinopel (sekarang Istambul) sekitar delapan abad sebelum ditaklukkanya kota itu. Rasulullah saw. bersabda :

“Sungguh Konstantinopel pasti akan ditaklukkan. Maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin penaklukkan kota itu dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan yang menaklukkan kota itu.”

Demikianlah janji-janji Allah dan Rasuln-Nya. Lalu, apakah janji-janji itu telah menyalahi kenyataan? Fakta sejarah membuktikan bahwa Islam telah menang dan Daulah Islamiyyah berdiri di Madinah. Kemusyrikan terhapus dari jazirah Arab. Persia dan Romawi hilang eksistensinya. Konstantinopel pun akhirnya ditaklukkan oleh Muhammad Al Fatih pada tahun 1453.
Namun demikian, percaya kepada janji Allah menuntut adanya sifat, sikap dan perbuatan tertentu dari seorang muslim. Sebab, janji Allah hanya akan diberikan kepada orang-orang yang beriman, beramal shaleh dan menolong atau memperjuangkan agama Allah. Allah swt. berfirman :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47] : 7)

Ayat diatas menerangkan, bahwa pertolongan Allah –sebagai salah satu janji Allah— hanya akan diberikan kepada orang yang beriman yang memperjuangkan dan mendakwah-kan agama Islam. Jadi, janji Allah tidak akan diberikan kepada mereka yang tidak beriman atau yang bertopang dagu saja, tidak mendakwahkan Islam.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. an-Nuur [24] : 55)

Dalam ayat diatas, Allah telah menjanjikan kekuasaan kepada kaum muslimin. Tetapi, janji Allah ini menuntut adanya keimanan dan amal-amal shaleh yang diperlukan, agar janji Allah itu terwujud secara nyata.
Dengan demikian, percaya kepada janji Allah dapat dikatakan merupakan suatu energi dinamis bagi seorang muslim. Janji Allah tidak akan membiusnya untuk berleha-leha atau berandai-andai, namun sebaliknya akan mendo-rongnya untuk berbuat dan bertindak, agar janji Allah itu terwujud dalam kenyataan.

MEMURNIKAN TAUHID, MENJAUHI SYIRIK


Inti ajaran Islam adalah tauhid. Yakni tidak menyem-bah kepada selain Allah. Dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Tauhid akan menentukan kemuslim-an seseorang. Muslim adalah seorang yang bertauhid dan beriman kepada seluruh bagian dari aqidah Islam. Tauhid pula yang akan menentukan apakah seseorang akan menjadi ahli surga atau ahlu an-Naar. Dalam masalah tauhid hanya ada dua kemungkinan : iman atau kafir dan tauhid atau syirik. Tidak ada kemungkinan ketiga atau tengah-tengah diantara keduanya.

Memurnikan tauhid

Menjadi kewajiban setiap muslim untuk senantiasa memantapkan dan memurnikan tauhidnya dengan cara menjauhi syirik.


إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَه إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu hanyalah berhala dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberi rizki kepadamu, karena itu carilah rizki itu disisi Allah dan sembahlah Dia serta bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya lah kamu akan dikembalikan.” (QS. al-Ankabut [29] : 17)


وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ(5)وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ(6)
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tidak dapat memperkenankan (do’a)nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari memperhatikan do’a mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka” (QS. al-Ahqaf [46] : 5-6)


أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahannya serta yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Rab yang lain? Amatlah sedikit kamu mengingat-Nya.” (QS. an-Naml [27] : 62)

Syirik

Berbagai macam bentuk syirik pernah dilakukan oleh manusia di masa Rasulullah. Dalam bentuk sedikit berbeda, syirik juga dilakukan oleh orang-orang yang katanya modern sekarang ini. Seperti penggunaan benda-benda tertentu (keris, patung gajah, guci, bunga, kemenyan, batu akik, susuk dan sebagainya) sebagai penolak balak atau pendatang keberuntungan dan rizki. Juga kepercayaan terhadap ramalan, termasuk ramalan bintang (astrologi); lalu kepercayaan terhadap hubungan antara bentuk arah rumah, pintu, jendela, tanggal pembangunan rumah bahkan warna cat dengan kebahagiaan, keselamatan dan kelapangan rizki. Ini yang dikenal dengan Hongsui. Ada juga kepercayaan terhadap hari baik dan hari sial. Perbuatan syirik semacam itu agaknya akan terus dilakukan oleh manusia hingga hari kiamat, kendati bentuknya berbeda-beda dari waktu-kewaktu.
Dilihat dari intensitas kemusyrikannya, syirik dapat dibagi menjadi dua : syirik besar dan syirik kecil. Syirik besar (al-syirku al-akbar) menurut as-Sa’adi dalam kitab al-Qaulu al-sadid diartikan : menjadikan bagi Allah sekutu (niddan) yang dia berdo’a kepadanya seperti berdo’a kepada Allah, takut, harap dan cinta kepadanya seperti kepada Allah atau melakukan suatu bentuk ibadah kepadanya seperti ibadah kepada Allah. Syirik besar ada yang bersifat dzahirun jaliyun (tampak nyata) seperti menyembah berhala, matahari, bulan bintang, benda-benda tertentu atau mempertuhankan Isa al-Masih, dsb. Ada pula yang bersifat bathinun khafiyun (tersembunyi) seperti berdo’a kepada orang yang sudah meninggal, meminta pertolongan kepadanya, minta disembuh dari penyakit, dihindarkan dari bahaya, dsb.
Sementara syirik kecil (al-Syirku al-Asghor) mencakup semua perkataan dan perbuatan yang akan membawa seseorang kepada kemusyrikan selain syirik besar.
Syirik kecil bila terus menerus dilakukan bisa menjerumuskan pelakunya kepada syirik besar. Diantara perbuatan yang termasuk syirik kecil adalah :
1. Bersumpah dengan selain Allah

“Barang siapa yang bersumpah selain nama Allah dia telah kufur atau syirik.” (HR. at-Tirmidzi)

2. Memakai Jimat

“Barang siapa yang menggantung diri pada tangkal maka Allah tidak akan menyempurnakan (Imannya), dan barang siapa yang menggantungkan diri kepada azimat maka Allah tidak akan mempercayakan kepadanya.” (HR. Ahmad)


“Bahwasannya Rasulullah pernah melihat seseorang memakai gelang kuningan di tangannya. Beliau bertanya :’Apakah ini?’, ‘Penolak lemah’, jawab orang itu. Maka Nabi berkata : ‘Lepaskanlah, karena dia hanya akan menambah penyakit dan kalau kamu mati dengan gelang itu masih melekat ditubuhmu, niscaya kamu tidak akan bahagia selama-lamanya (masuk neraka).” (HR. Ahmad)


“Bahwasannya Rasullah melihat seseorang memakai benang ditangannya guna menolak sakit panas, maka benang itu diputuskannya seraya membacakan firman Allah, ‘Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah, kecuali mereka itu hanyalah orang-orang musyrik.’ (QS. Yusuf [12] : 106).” (HR. Ahmad)


“Barang siapa yang menggantungkan diri pada azimat maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad)


“Sesungguhnya mantra, azimat dan guna-guna itu adalah perbuatan syirik.” (HR. Ibnu Hibban)


3. Sihir


“Barang siapa yang membuat satu simpul kemudian dia meniupinya, maka sungguh ia telah menyihir. Barang siapa menyihir, sungguh ia terlah berbuat syirik.” (HR. Nasai)


4. Astrologi/Ramalan


“Barang siapa yang mempelajari salah satu cabang dari perbintangan, maka dia telah mempelajari sihir.” (HR. Abu Dawud)


“Allah telah menciptakan bintang ini untuk tiga keperluan, yakni hiasan langit, pelempar setan dan tanda-tanda untuk penunjuk arah. Barang siapa mentakwilkan bintang-bintang itu diluar ketiga hal itu, maka ia telah melakukan kesalahan, berbuat sia-sia dan telah menyia-nyiakan nasibnya serta memaksakan dirinya pada sesuatu tanpa dasar ilmu pengetahuan.” (HR. Bukhari)


“Thiyarah (penentuan nasib dengan burung) itu adalah syirik, thiyarah itu adalah syirik.” (HR. Tirmidzi)


5. Bernazar kepada selain Allah


“Barangsiapa yang bernazar untuk berbuat taat kepada Allah maka hendaklah dia laksanakan nazarnya itu, dan barang siapa bernazar untuk mendurhakai Allah, maka janganlah dia mendurhakai-Nya” (HR. Bukhari)


Menyembelih binatang atau persembahan korban kepada selain Allah.


“Dari Ali, Rasulullah bersabda kepadaku dengan empat kalimat, yaitu Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang melindungi penjahat dan Allah melaknat orang yang mengubah batas tanah miliknya.” (HR. Muslim)


6. Riya’


“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti terjadi pada kalian adalah al-Syirku al-Asghar (syirik kecil). Sahabat bertanya, apa syirik kecil itu, ya Rasulullah? Rasulullah menjawab, Riya.” (HR. Ahmad)


7. Ikut-ikutan

Syirik dalam berbagai bentuknya, jelas-jelas sangat ditentang Islam. Syirik adalah lawan dari tauhid. Islam ingin menegakkan tauhid seraya memerangi syirik. Tapi mengapa banyak orang yang melakukan syirik dan mempercayai segenap ramalan, sihir, kepercayaan tanpa dasar terhadap ulasan-ulasan semacam hongsui dan fengsui/ Jawabnya selain miskinnya tauhid, juga karena ikut-ikutan. Hampir bisa dipastikan bahwa perbuatan yang tidak rasional itu berkembang dari mulut ke mulut, dari orang ke orang, lantas bila berkembang semakin massif, kebiasaan itu berubah menjadi tradisi yang cenderung akan dipertahankan terus menerus secara turun menurun. Maka, ketika orang melakukan itu semua bukan lagi atas dasar pertimbangan ilmu dan akal sehat, tetapi semata tradisi. Kecenderungan semacam ini memang terjadi sejak dulu. Sebagaimana firman Allah :

“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya : ‘Apakah yang kamu sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya’ Berkata Ibrahim : ‘Apakah berhala-hala itu mendengar (do’a)mu sewaktu kamu berdo’a (kepadanya), atau dapatkah mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?’ Mereka menjawab : ‘(bukan karena itu) sebenarnya kami mendapti nenek moyang kami telah berbuat demikian.” (QS. as-Syu’ara [ ] : 69-74)


Neraka Balasannya

Jelas, syirik adalah dosa amat besar yang tidak terampunkan dosanya disisi Allah. Karena siapa saja yang melakukan syirik, hakekatnya idak ada lagi tauhid didalam dirinya.

“Barang siap yang datang kpada ‘Arraf (peramal) atau kepada kahin (dukun) dan ia membenarkan apa yang dikatakannya, maka berarti ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad” (HR.Empat Sunan)


Telah kafir terhadap wahyu, wahyu yang mana/ Tentu semua wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an maupun al-hadits. Beberapa diantaranya, adalah:


“…. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” (QS. al-A’raf [ ] : 131)


“Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siap yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (QS. al-Isra’ [ ] : 30)


“Dan janganlah kamu menyembah apapun yang tidak memberi manfaat dan juga tidak memberi mudharat kepadamu selain Allah. Sebab jika kamu melakukan hal demikian itu sesungguhnya kamu termasuk orang yang zalim. Jika Allah menimmpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak Karuna-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Yunus [ ] : 106-107).


Maka resiko syirik sangat berat, dari “yang paling ringan” tertolak ibadah sholatnya selama 40 haridan semua amal baiknya, dihukum didunia dengan cara dipenggal lehernya, hingga yang terbrat divonis sebagai ahli neraka karena dosa yang terampuni tadi.


“Barang siapa datang kepada tukang ramal, kemudian bertanya tentang sesuatu dan membenarkan apa yang dikatakannya, tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari” (HR.Muslim)


“Akulah yang paling tidak memerlukan sekutu, barang siapa yang melakukan amalan yang menyekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku berlepas diri darinya, maka amalannya itu untuk sekutu itu” (Hadits Qudsi Riwayat Muslim)


“Jauhilah tujuh perkara yang merusak”. Para sahabat bertanya, “Apakah ketujuh perkara itu, ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali secara haq, makan riba, makan harta anak yatim, meninggalkan medan perang, dan menuduh zinah terhadap wanita yang suci” (HR. Bukhari Muslim)


“Hukuman buat tukang sihir adalah dipenggal lehernya” (HR. Tirmizi)


“Barang siapa menghadap Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga; dan barangsiapa menghadap Allah dalam keadaan mempersekutukan-Nya maka dia akan masuk neraka” (HR. Muslim)


“Tiga (macam) yang tidak akan masuk surga, yakni pemabuk, pemuts hubungan silaturahmi dan orang yang membenarkan (mempercayai) sihir” (HR.Ahmad)


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dpsa syirki, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. an-Nisa [ ] : 4)


“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka, tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong” (QS. al-Maidah [ ] : 72)



Yang Paling Baik

Bila demikian, apa yang terbaik harus kita lakukan? Sesuai petunjuk al-Qur’an, yang terbaik adalah senatiasa memurnikan tauhid dan membersihkan dari syirik. Bila secara sengaja atau tidaj sengaja, kita pernah melakukan syirik, segera tinggalkan syirik itu dan bertobat. Pintu tobat masih terbuka untuk semua bentuk kesalahan selama ajal belum menjelang. Dan Allah pasti akan menerima tobat dari siapapun yang sungguh-sungguh bertobat.

“Katakanlah : Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. az-Zumar [ ] : 53)


Sikap terbaik berikutnya adalah tawakal. Tawakal muncul dari keyakinan seorang muslim terhadap qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah. Bahawabila Allah berkehendak menimpakan kemudharatan, tak satupun yang dapat menghindarkannya selain Dia, dan bila Allah menghendaki karunia maka tak satupun juga yang dapat menolaknya. Di akhirat nanti, atas mudharat ataupun manfaat yang kita terima, tidak akan dimintai pertanggungjawaban.

Selain itu, secara rasional kita berusaha menempuh jalan terbaik, disertai do’a agar kita mendapat karunia dan dihindarkan dari bencana. Setelah itu, yang harus pula kita lakukan adalah optimis. Bahwa kita mendapatkan yang terbaik dalam hidup ini. Kalaulah sekali waktu mendapatkan mudharat, sepanjang kita menjalani hidup dengan landasan aqidah islam dan ketaatan pada Allah, niscaya kebaikan akan diperoleh di akhirat secara kekal. Ingatlah kata Rasulullah,

“Yang paling baik adalah rasa optimis, dan optimis itu tidak akan menggagalkan orang Isalm. Maka jika seseorang diantara kamu melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, ucapkanlah: “Allahumma la ya’ti bi al hasanati illa anta, wa la yadfau al-sayyiati illa anta, wa la hawla wal quwwata illa bika” (Ya Allah, hanya Engkau Yang Maha mendatangkan kebaikan-kebaikan dan hanya Engkau pula Yang Maha menolak segala ketidakbaikan. Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan kecuali hanya karena-Mu” (HR. Abu Dawud)